BABI
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kabupaten wajo dengan
ibu kotanya Sengkang, terletak dibagian tengah propinsi Sulawesi Selatan dengan
jarak 242 km dari ibukota provinsi, memanjang pada arah laut Tenggara dan
terakhir merupakan selat, dengan posisi geografis antara 3º 39º - 4º 16º LS dan
119º 53º-120º 27 BT.
Batas wilayah Kabupaten
Wajo sebagai berikut :
Luas wilayahnya adalah
2.506,19 Km² atau 4,01% dari luas Propinsi Sulawesi Selatan dengan rincian
Penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah 86.297 Ha (34,43%) dan lahan kering
164.322 Ha (65,57%).
Pada tahun 2007
Kabupaten Wajo telah terbagi menjadi 14 wilayah Kecamatan, selanjutnya dari
keempat-belas wilayah Kecamatan di dalamnya terbentuk wilayah-wilayah yang
lebih kecil, yaitu secara keseluruhan terbentuk 44 wilayah yang berstatus
Kelurahan dan 132 wilayah yang berstatus Desa.
Masing-masing wilayah
kecamatan tersebut mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang berbeda meskipun perbedaan itu relatif kecil, sehingga pemanfaatan
sumber-sumber yang ada relatif sama untuk menunjang pertumbuhan pembangunan di
wilayahnya.
Nilai-nilai kearifan
lokal ternyata bisa menjadi senjata ampuh dalam menjaga persatuan dan kesatuan
yang ada. Nilai kearifan Lokal begitu melekat di masyarakat.
Kearifan lokal
merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu dan
mencerminkan cara hidup masyarakat tertentu. Oleh karena itu, penyebarluasan
praktek-praktek kearifan lokal tertentu seringkali menjadi tantangan.
Prinsip-prinsip kearifan lokal dapat diterapkan di daerah lain, tentu saja
dengan penyesuaian budaya setempat. Penerapan kearifan lokal merupakan sebuah
proses dan menbutuhkan keterlibatan dari seluruh lapisan masyarakat.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana nilai kearifan local di Kabupaten Wajo?
1.3.
Tujuan Penelitian
Ada pun yang menjadi tujuan penelitian dari makalah ini:
1.
Agar para pembaca tahu
nilai kearifan local di Kabupaten Wajo.
BAB II
PEMBAHASAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kearifan Lokal Di Kabupaten Wajo
Kabupaten wajo dengan
ibu kotanya Sengkang, terletak dibagian tengah propinsi Sulawesi Selatan dengan
jarak 242 km dari ibukota provinsi, pada tahun 2007 Kabupaten Wajo telah
terbagi menjadi 14 wilayah Kecamatan, selanjutnya dari keempat-belas wilayah
Kecamatan di dalamnya terbentuk wilayah-wilayah yang lebih kecil, yaitu secara
keseluruhan terbentuk 44 wilayah yang berstatus Kelurahan dan 132 wilayah yang
berstatus Desa.
Pada tahun 2007
Kabupaten Wajo telah terbagi menjadi 14 wilayah Kecamatan, selanjutnya dari
keempat-belas wilayah Kecamatan di dalamnya terbentuk wilayah-wilayah yang
lebih kecil, yaitu secara keseluruhan terbentuk 44 wilayah yang berstatus
Kelurahan dan 132 wilayah yang berstatus Desa.
Tata Guna Lahan di
Kabupaten Wajo secara umum terdiri atas sawah, perkebunan, perumahan, tambak,
fasilitas sosial, fasilitas ekonomi dan lahan kosong. Pergeseran pemanfaatan
lahan di wilayah Kabupaten Wajo secara umum belum mengalami perubahan yang
cukup drastis hanya beberapa bagian kawasan strategis di wilayah perkotaan
cepat tumbuh akibat terjadinya peningkatan pembangunan jumlah unit perumahan
dan pengadaan sarana prasarana umum.
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah kerajaan, republic dan federasi yang belum ada duanya pada masa itu.
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah kerajaan, republic dan federasi yang belum ada duanya pada masa itu.
Kearifan yang menjadi
jati diri rakyat Wajo adalah nilai-nilai luhur dikemukakan dalam Lontarak
Sukkuna Wajo.Dalam Lontarak Sukkuna Wajo. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa
beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo
menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
1. LATADAMPAREPUANGRIMAGGALATUNG
2. PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
3. LAMUNGKACE
TOADDAMANG
4. LATENRILAI TOSENGNGENG
5. LASANGKURU PATAU
6. LASALEWANGENG TO TENRI RUA
7. LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (PAHLAWAN
NASIONAL)
8. LAFARIWUSI TOMADDUALENG.
Dan masih banyak lagi
nama-nama yang berjasa di Tanah Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan
kejayaan Wajo.
Beberapa versi tentang
kelahiran Wajo, yakni :
1.
Versi Puang
Rilampulungeng
2.
Versi Puang
Ritimpengen
3.
Versi Cinnongtabi
4.
Versi Boli
5.
Versi Kerajaan Cina
6.
Versi masa Kebataraan
7.
Versi masa ke Arung
Matoa-an
Dari versi tersebut,
disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni
pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah
pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama
Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan perjanjian
tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan
baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan
Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Sedangkan untuk
menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :
1.
Versi tanggal 18 Maret, ketika armada
Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan
Koddingareng.
2.
Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam
peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan
gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
3.
Versi tanggal 16 Mei,
ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk
agama Islam.
4.
Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo,
menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada
Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut,
disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29
Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan
Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua
versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret
1399.
Kebesaran dan kejayaan
Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah
dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan
perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya terhadapat
Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade
Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING JANCARA, serta berbagai
falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan
rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap
rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam
menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada saat LA
TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung Simettengpola mengadakan
perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini dikenal dengan ”LAMUNGPATUE
RILAPADDEPA” (Penanaman batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian
ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap perintah raja, asalkan atas kebaikan
dan kemaslahatan rakyat, demikian pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya
dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya :”IO TO WAJO,
MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’
RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE, ONCOPISA REKKO
MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”
Artinya:
“Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu atau
menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari jabatan kerajaanku di
Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada tersapunya batu-batu. Apalagi
jika kalian bermaksud jahat terhadapku, maka engkau kering bagaikan garam.”
Pada bagian lain Petta
Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre, Arung Simettengpola mengemukakan
”NAPULEBBIRENGNGI TO WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU SALAE,
NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE
DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO,
WARANG PARANG MITU WEDDING MAPPAMATE”
Artinya:
“Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang
menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena hanya
dengan kerja keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan
Yang Maha Kuasa. Hemat terhadap harta benda, karena harta benda orang bisa
hidup sempurna dan harta benda pula bisa mematikan orang. “
Apa yang telah
diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh Batara Wajo dan Arung Matowa
berikutnya terus dikembangkan sampai masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO
KEEMPAT: LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai kejayaan. Pada masa
pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum
adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan,
merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi
rakyat (public servent) dan konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan
raja).
Salah satu Ade
Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang
selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun
disingkatkan), antara lain berbunyai :”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA
MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA
TURUSENNAMI NAPOPUANG”.
Artinya :
“Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak
dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat)
merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan”.
Kebesaran dan
kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam Lontarak :
MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
Artinya :
“Berkata pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng:
”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya
dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling
mengasihi di dalam negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan
mengukuhkan persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena
kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan
kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan
menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan
mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke
barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh
orang-orang Wajo”.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kabupaten wajo dengan
ibu kotanya Sengkang, terletak dibagian tengah propinsi Sulawesi Selatan dengan
jarak 242 km dari ibukota provinsi, memanjang pada arah laut Tenggara dan
terakhir merupakan selat, dengan posisi geografis antara 3º 39º - 4º 16º LS dan
119º 53º-120º 27 BT.
Pada tahun 2007
Kabupaten Wajo telah terbagi menjadi 14 wilayah Kecamatan, selanjutnya dari
keempat-belas wilayah Kecamatan di dalamnya terbentuk wilayah-wilayah yang
lebih kecil, yaitu secara keseluruhan terbentuk 44 wilayah yang berstatus
Kelurahan dan 132 wilayah yang berstatus Desa.
Masing-masing wilayah
kecamatan tersebut mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang berbeda meskipun perbedaan itu relatif kecil, sehingga pemanfaatan
sumber-sumber yang ada relatif sama untuk menunjang pertumbuhan pembangunan di
wilayahnya.
Filosofi pemerintahan
dan kemasyarakatan wajo yang tercermin pada kedalaman kearifan budaya dan moral
masyarakat wajo yang sejak 600 tahun yang lalu yaitu sejak wajo lahir pada
tanggal 29 maret 1399.
Dikutip dari :
( Http://bobbyjlumentut.blogspot.com/2010/06/kearifan-lokal-di-kabupaten-wajo.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar