Lontara adalah aksara tradisional
masyarakat Bugis-Makassar.
Bentuk aksara lontara menurut budayawan Prof Mattulada (alm) http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Buginese_Nga.png

1.
Sejarah
Lontara adalah perkembangan dari tulisan Kawi yang digunakan
di kepulauan Indonesia sekitar tahun 800-an. Namun dari itu, tidak diketahui
apakah Lontara merupakan turunan langsung dari Kawi atau dari kerabat Kawi lain
karena kurangnya bukti. Terdapat teori yang menyatakan bahwa tulisan Lontara
didasarkan pada tulisan Rejang, Sumatra selatan karena adanya kesamaan grafis di
antara dua tulisan tersebut. Namun hal ini tidak berdasar, karena beberapa
huruf lontara merupakan perkembangan yang berumur lebih muda.
Istilah "Lontara" juga mengacu pada
literatur mengenai sejarah dan geneologi masyarakat Bugis. Contoh paling
panjang dan terkenal barangkali merupakan mitos penciptaan bugis Sure’ Galigo,
dengan jumlah halaman yang mencapai 6000 lembar. Lontara pernah dipakai untuk
menulis berbagai macam dokumen, dari peta, hukum perdagangan, surat perjanjian,
hingga buku harian. Dokumen-dokumen ini biasa ditulis dalam sebuah buku, namun
terdapat juga medium tulis tradisional bernama Lontara’, dimana selembar
daun lontar yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu
sebagaimana halnya pita rekaman pada tape recorder. Teks kemudian
dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan.
Walaupun penggunaan aksara Latin telah menggantikan
Lontara, tulisan ini masih dipakai dalam lingkup kecil masyarakat Bugisdan Makassar.
Dalam komunitas Bugis, penggunaan Lontara terbatas dalam upacara seperti
pernikahan, sementara di Makassar tulisan Lontara kadang dibubuhkan dalam tanda
tangan dan dokumen pribadi.
2.
Penggunaan
Sebuah buku harian berbahasa
Makassar yang ditulis seorang puteri Gowa. Tanda baca palláwa ditulis
dengan tinta merah, begitu juga beberapa nama danbahasa Arab.
Lontara adalah sistem tulisan abugida yang
terdiri dari 23 konsonan. Seperti aksara Brahmi lainnya,
setiap konsonan mempunyai vokal inheren /a/, dapat dibaca /ɔ/ dalam bahasa Bugis (artikulasi
vokal inheren yang sama dapat ditemukan dalam aksara Jawa),
yang diubah dengan pemberian diakritik tertentu menjadi vokal /i/, /u/, /e/, /ə/,
atau /o/. Namun dari itu, Lontara tidak memiliki sebuah tanda virama (tanda pemati
vokal) atau tanda konsonan akhir. Bunyi nasal /ŋ/, glotal /ʔ/, dan gemitasi konsonan
dalam bahasa Bugis tidak ditulis. Karena itu, teks Lontara dapat menjadi sangat
rancu bagi yang tidak terbiasa. Semisal , dapat dibaca sara'kesedihan', sara' 'menguasai',
atau sarang 'sarang'.
Masyarakat Bugis memanfaatkan
kekurangan tulisan ini dalam permainan bahasa Basa to Bakke’ ('bahasa
orang-orang Bakke’') dan Elong maliung bəttuanna ('lagu
dengan arti dalam'). Basa to Bakke’ hampir sama dengan mengejek,
dimana dua kata dengan makna berbeda namun pengejaan yang sama dimanipulasi
untuk membentuk frase dengan makna tersembunyi. Elong maliung bettuanna juga
bekerja dengan prinsip yang sama, dimana pendengar menerka cara baca yang benar
dari suatu puisi tidak bermakna untuk menyingkap pesan dari puisi tersebut.
Lontara ditulis dari kiri ke kanan, namun tulisan ini
juga dapat ditulis secara tidak beraturan (boustrophedon). Umumnya
metode kedua diterapkan dalam buku harian Bugis tua, yang setiap halamannya
direservasi untuk kejadian dalam satu hari saja. Ketika seorang penulis
kehabisan tempat untuk kejadian satu hari, baris terakhir akan berbelok dan
berputar dalam alur zig-zag hingga tidak tersisa tempat lagi di halaman
tersebut.
3.
Bentuk Aksara
erbandingan bentuk Toa jangang-jangang (kiri), Bilang-bilang (kanan),
and Lontara baru (tengah) di Museum Balla Lompoa, Sungguminasa, Gowa
Huruf-huruf Lontara kontemporer dengan mudah dapat
diidentifikasi dari bentuknya yang cenderung lebih kaku dan anguler dibanding aksara Brahmi lainnya.
Terdapat dua varian tua yang bentuknya lebih melengkung; Toa
jangang-jangang dan Bilang-bilang. Lontara ditulis tanpa
spasi (scriptio continua).
4. Konsonan
Konsonan Lontara (indo’ surə’ or ina’
surə’ terdiri dari 23 huruf sebagai berikut:
Seperti yang sebelumnya dijelaskan, Lontara tidak
memiliki tanda pemati vokal seperti halant atau virama yang umum
dalam aksara-aksara Brahmi. Bunyi nasal /ŋ/, glotal /ʔ/, dan gemitasi konsonan
dalam bahasa Bugis tidak ditulis (dengan pengecualian glotal awalm yang
menggunakan konsonan kosong "a").
Empat klaster konsonant yang sering terjadi ditulis
dengan huruf spesifik, yaitu ngka ᨃ, mpa ᨇ, nra ᨋ dannca ᨏ.
"Nca" sebenarnya merepresentasikan bunyi "nyca" (/ɲca/),
namun ditransliterasikan hanya sebagai "nca". Namun huruf-huruf
tersebut tidak digunakan dalam bahasa
Makassar. Huruf ha ᨖ adalah tambahan baru
karena pengaruhbahasa Arab.
5. Vokal
Tanda baca vokal (ᨕᨊ ᨔᨘᨑᨛ ana’ surə’)
digunakan untuk mengubah vokal inheren suatu konsonan. Terdapat 5 ana’
surə’, dengan /ə/ tidak digunakan dalam bahasa
Makassar karena dianggap tidak memiliki perbedaan fonologis
dengan vokal inheren. Tanda baca dapat dibagi menjadi dua berdasarkan
bentuknya; titik (tətti’) dan aksen (kəccə’).[6]
6. Diakritik Lain
Untuk menulis kata asing dan mengurangi kerancuan,
font Bugis terbaru menambahkan tiga diakritik yang menekan vokal inheren (virama), meng-nasalkan
vokal (anusvara), dan menandakan
glotal serta gemitasi huruf, tergantung posisi. Diakritik ini tidak terdapat
dalam Lontara tradisional, dan juga tidak memiliki alokasi dalam Unicode. Namun
inovasi ini dirasa berguna oleh para ahli Bugis, seperti Djirong Basang yang
bekerja dengan projek Monotype Typography untuk menyiapkan font Lontara dalam
mesin LASERCOMP photo typesetting.[7]
7. Tanda Baca
Pallawa, berfungsi sama
seperti koma dan titik. Kadang, pallawa juga digunakan untuk
pengulangan kata.
sumber :Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(http://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Lontara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar